KERANGKA
BERFIKIR:
Sumber
: WA Bp Ks tg 28-10-2019
Kemenpora
: lomba esei
Tema:
kepemudaan & sejarah usia Muda Pahlawan Indonesia.
Sub
tema :
1.
Kepemimpinan
muda
2.
Pemuda
melek politik
3.
Peran
organisasi kepemudaan dalam meningkatkan indeks pembangunan pemuda,
4.
Pemuda,
dunia usaha dan industri
5.
Pemuda
, filantropi dan kepedulian sosial
Kepahlawanan
:
1.
Sejarah
usia muda pahlawan Indonesia
Total
hadiah: 90 juta
Timeline:
Registrasi
dan upload naskah : 18/10 – 5 Nov 2019.
Pengumuman:
Presentasi
: 13- 15 Nov 2019
50
esai terbaik akan mendapat sertifikat dan diundang mempresentasikan karyanya
pada 13-5 Nov 2019 di Jakarta untuk memperebutkan juara.
Info
pendaftaran: http://bit.ly/esaikemenporapendaftaran
gratis.
Tema
: kepemudaan dan usia muda Pahlawan Indonesia
Sub
tema : Judul : Ayo Kita Maju Bersama Antawirya
Kerangka:
PENDAHULUAN
Pangeran Diponegoro seorang pemuda yang
tangguh, berdasarkan sejarah.
TUBUH ESAI
1.
Kepemimpinan
muda
2
Pemuda
melek politik
3
Peran
organisasi kepemudaan dalam meningkatkan indeks pembangunan pemuda,
4
Pemuda,
dunia usaha dan industri
5.
Pemuda, filontropi dan kepedulian sosial.
RINGKASAN
IDE POKOK
Seorang
antawirya patut dicontoh.
AYO KITA MAJU BERSAMA
ANTAWIRYA
SEJARAH ISLAM INDONESIA
Perang Diponegoro
(1825-1830)
Sebelas November 1785, keluarga kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia.
Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu,
mempunyai anak pertama yang dinamai
Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I)
sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia,
katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia
akan memusnahkan Belanda.
Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam
asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana
ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai
Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya
untuk lebih dekat dengan rakyat.
Spiritualitasnya makin terasah dengan
kesukaannya berkhalwat atau menyepi di
bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal
demikian membuat Antawirya semakin tak
menikmati bila berada di kraton yang
mewah, dan bahkan sering mengadakan
acara-acara model Barat. Termasuk dengan
pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya
hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam
setahun. Yakni saat Idul Fitri dan
'Gerebeg Maulid".
Antawirya kemudian bergelar Pangeran
Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang
sangat disegani. Ayahnya hendak
memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia
tak dapat menikmati tinggal di istana.
Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih
Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota.
Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.
Pada 1814, Hamengku Buwono III
meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13
tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono
IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai
Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda
dan bahkan bergaya hidup Belanda.
Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi
suasana yang diharapkan Diponegoro.
Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono
IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif
Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru
berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja.
Makin berkuasalah Danurejo.
Saran-saran Diponegoro tak digubris.
Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert
malah berencana membuat jalan raya
melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa
pemberitahuan, mereka mematok-matok
tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro
mencabutinya. Diponegoro minta Belanda
untuk mengubah rencananya tersebut. Juga
untuk memecat Patih Danurejo. Namun,
pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan
Danurejo IV mengepung Tegalrejo.
Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke
bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga
mengorganisasikan pasukan.
Pertempuran pun pecah. Upaya damai
dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo
mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga
kraton yang masih dihormati Diponegoro.
Namun, setelah berdialog, Mangkubumi
justru memutuskan bergabung dengan
Diponegoro. Gubernur Jenderal van der
Capellen memperkuat pasukannya di Yogya.
Namun 200 orang tentara itu, termasuk
komandannya Kapten Kumsius, tewas di
Logorok, Utara Yogya, atas terjangan
pasukan Diponegoro di bawah komando
Mulyosentiko.
Dalam pertikaian ini, dua kraton
Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoroberpihak
pada Belanda. Pasukan pimpinan
Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan
pasukan bantuan Mangkunegoro. Di
Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir
mengalahkan tentara Belanda dan
Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di
pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro
sendiri memimpin pertempuran yang
menewaskan banyak tentara Belanda dan
Bupati Ario Sumodilogo.
Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam
Belanda berhasil dirampas. Di daerah
Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda
ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati
pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda
di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang
Serang dan Pangeran Syukur. Belanda
kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van
Geen yang terkenal kejam di Sulawesi
Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot
Alibasyah
menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta
Pangeran
Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.
Murdoningrat
dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan
Habert.
Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri.
Pasukan
Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu.
Benteng
Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober
1826.
Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan
Sentot
Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya
mundur.
Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan
bertempur
sesama warga.
Belanda
mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat,
untuk
sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi
mobilitas
pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang
panglima
penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5
Nopember
1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya
Selatan
pada 24 Oktober 1829.
Diponegoro
lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830,
Diponegoro
disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden
Basah
Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen
Kedu
di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan
upacara
militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar
mendapat
"kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan
agama
Islam."
De
Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu,
Diponegoro
dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei
1830,
ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang
(tahun
1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang,
Diponegoro
menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357
halaman.
Pergolakan
rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak
Belanda
-baik warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial.
Hal
demikian mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang
melahirkan
banyak pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut
Diponegoro
seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara
terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar