Selasa, 15 Oktober 2019

Kisah Ashabul Kahfi


IDENTITAS ASHABUL KAHFI
(Islam Digest ,HU Republika, 16 Desember 2018,hlm15)
Oleh : Hasanul Rizqa
Nuansa kisahnya adalah pertentangan antara kebenaran dan kebatilan; antara keteguhan bertauhid dan kezaliman penguasa yang musrik.
Alquran mengandung kisah-kisah yang berhikmah besar. Di antaranya mengenai para penghuni gua (Ashabul Kahfi), yang dinarasikan dalam surat al Kahfi ayat 9-26. Walaupun firman Allah SWT itu tidak mencantumkan siapa nama mereka, di mana lokasi, dan kapan peristiwa yang dimaksud, kisah tersebut benar-benar pernah terjadi. Kalangan sejarawan yang mengkajinya sering merujuk pada konteks sejarah penduduk Upsus (Ephesus). Ephesus merupakan nama kota kuno di pesisir Turki Barat- sekitar tiga kilometer Distrik Selcuk, Provinsi Izmir, Turki.
     Daerah yang diduga menjadi tempat tinggal mereka tidak hanya itu. Selain di sekitar Selcuk, ada pula Gua Eshab-i Kehf Kulliye (Kompleks Usmaniyyah-Islam) di Distrik Afsin, Provinsi Kahramanmaras. Pemerintah setempat pada 2015 lalu sudah mendaftarkan kompleks di Afsin tersebut ke UNESCO  untuk menjadi kandidat Warisan Peradaban Dunia.
     Ashabul Kahfi merujuk pada tujuh pemuda dan seekor anjing yang –atas ijin Allah SWT- tidur di dalam gua selama ratusan tahun, yakni 300 tahun syamsiah atau 309 tahun qamariah. Buku Ensiklopedi Islam mengungkapkan, penamaan ashabul kahfi terdapat dalam ayat ke 9 surat al Kahfi, sedangkan kata al-kahfi/kahfi ditemukan pada ayat-ayat ke 10,11, 16, 17, dan 25 surah yang sama. Nuansa kisahnya adalah pertentangan antara kebenaran dan kebatilan, antara keteguhan bertauhid dan kezaliman penguasa yang musyrik.
     Penguasa yang dimaksud adalah Gaius Messius Quintus Decius. Dua menjadi kaisar Romawi pada 249-251. Sejak zaman Kaisar Nero (54-58), orang-orang yang meyakini kebenaran risalah Nabi Isa AS kerap menjadi sasaran kekerasan. Bahkan banyak yang dipaksa menjadi umpan singa di arena gladiator, yang dibuat semata-mata untuk hiburan penguasa dan warga Roma. Pada zaman Decius , persekusi atas kaum Nasrani mulai berlangsung terstruktur dan sistematis.
    Pada Januari 250, kaisar yang lahir di Budalia (kini Serbia) itu menginstruksikan setiap warga agar menyembah berhala. Peribadatan harus disaksikan aparat negara sehingga rakyat dibayang-bayangi ketakutan. Siapa pun yang menentang aturan itu diperintahkannya untuk ditangkap dan bila perlu dibunah. Bagaimanapun, tidak sedikit orang beriman yang menolaknya. Meskipun intimidasi terus digencarkan Decius dan jajarannya, mereka tidak gentar sedikit pun dan semakin solid melawan.
     Di antara mereka terdapat para pemuda. Buku Corpus Inscriptionum Arabicarum Palaestinae (Jilid Enam) menyebutkan siapa saja nama-namanya. Dalam bahasa Latin, sebutan mereka sebelum beriman adalah Achillides, Diomedes, Diogenes, Probatus, Stephanus, Sambatius, dan Quiriacus. Setelah menjadi pengikut ajaran Nabi Isa As, mereka berturut-turut berganti nama menjadi Maximianus, Malchus, Martiniaus, Constantinus, Dionisius, Johannes dan Serapion. Sumber lain, Ensiklopedia Britannica , mengungkapkan bahwa tradisi Kristen Barat menamakan mereka sebagai Maximian, Malchus, Marcian, John, Denis, Serapion, dan Constantine. Adapun menurut tradisi Kristen Ortodoks mereka terdiri atas Maximilian, Jamblichus, Martin, John,Dionysius, Antonius, dan Constantine.
     Selain Antonius, keenam orang tersebut merupakan pejabat penting di lingkungan istana gubernur Daqyamus. Seperti halnya sang kaisar, gubernur tersebut merupakan seorang penyembah dewa-dewa Romawi. Tidak mengherankan bila menghias setiap sudut Kota Ephesus dengan patung-patung yang menggambarkan ajaran politeisme.
     Akan tetapi, keluarganya tidak seluruhnya terjerumus kesehatan. Istrinya sendiri diam-diam beriman pada tauhid. Setelah hal itu diketahuinya. Daqyamus pun membakar hidup-hidup pasangannya itu di depan umum. Kejadian ini drsaksikan putrinya, Helen, yang akhirnya mengikuti jejak ibundanya, menjadi orang beriman secara sembunyi-sembunyi.
     Ketika dewasa   , Helen dinikahkan dengan Maximilian yang tidak lain anak seorang pejabat yang dekat secara politik dengan   Kaisar Decius. Deqyamus berharap, pernikahan putrinya itu akan memuluskan jabatannya di Ephesus. Setidak-tidaknya besannya itu yang menjabat senat tidak mungkin menjelek-jelekkan namanya di hadapan kaisar. Pasangan Maximilian dan dikaruniai anak bernama Iqmith.
     Suatu hari, Maximilian ingin memesan sebuah patung dewa untuk disembahnya di dalam rumah. Dia pun pergi kepada seorang perupa yang paling terkenal di pasar. Awalnya tukang tersebut menolak permintaan Maximilian dengan alasan dirinya sekarang hanya membuat pot-pot dari tanah liat. Menantu Gubernur Daqyanus itu terus memaksanya sehingga dibuatlah sebuah patung seperti yang didinginkan.
     Beberapa hari kemudian, patung dewa yang dinanti-nanti akhirnya tiba di rumah. Maximilian ternyata kecewa setelah melihatnya. Dia menilai mutu pesanannya itu jauh dari yang diharapkannya semula. Patung itu pun dibuangnya sehingga pecah berkeping-keping. Perupa yang membuatnya bertanya kepadanya, “Bukankah itu dewa yang Tuan sembah? Apa Tuan tidak dengan kutukan akibat perbuatan ini?”
     “Patung itu hanyalah buatan tangannmu. Tidak akan bisa memberikan kutukan atau kesengsaraan kepadaku.” Jawab Maximilian.
     “Lantas, mengapa Tuan menyembahnya? Jika patung itu saja dibuat oleh tangan manusia, mengapa tidak menyembah Tuhan Yang satu, yang telah menciptakan seluruh manusia, termasuk saya dan tuan sendiri!” cecar perupa itu tanpa ragu.
     Kata-kata itu membuat Maximilian terdiam. Berhari-hari lamanya, dia memikirkan makna di balik ucapan itu. Sampai akhirnya dia mengungkapkan kegundahan hatinya kepada istrinya. Helen berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa penyembahan pada berhala tidak sesuai fitrah penciptaan manusia. Bagaimana mungkin manusia menyembah apa yang dibenntuk oleh tangannya sendiri? Istrinya itu mengatakan kepadanya. Nabi Isa AS telah mengajarkan kebenaran bahwa seharusnya manusia beriman kepada Allah, Tuhan yang Satu.
     Sejak saat itu Maximilian mulai belajar Injil. Di rumahnya, dia kerap mengundang seorang alim Nasrani untuk mengajarkan kepadanya ajaran Nabi Isa AS. Tentunya hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk menghindar dari kecurigaan mertuanya.
     Sementara, penindasan atas orang-oranng Nasrani semakin gencar. Suatu hari, seorang tokoh lokal yang beriman pada tauhid dihubungkan dengan cara salib. Bahkan, jasadnya kemudian dibakar dan ditampilkan di dekat pasar. Hal itu menjadi cara penguasa Romawi untuk memperingatkan rakyat agar selalu takut dan tidak berpaling dari politeisme.
     Melihat kejadian ini, Maximilian tergerak untuk membantu keluarga syuhada tersebut. Pada malam hari, dia dan lima orang pengawalnya diam-diam menurunkan jasad martir itu sehingga bisa diserahkan pada ahli waris dan dikuburkan secara layak. Tindakan Maximilian menjadi peluang bagi sejumlah pejabat di istana yang memang sejak semula menganggapnya hanya orang asing dari Roma –bukan asal Ephesus.
     Seorang pejabat kemudian meminta daqyamus agar menghadirkan menantunya itu dan kawan-kawannya. Tujuannya untuk menguji keberpihakan mereka, apakah masih pada agama politeistik Romawi ataukah ajaran Nabi Isa AS. Di depan Daqyanus, Maximilian dan kelima pengawalnya – Jamblichus, Martin, John, Dionysius, dan Constantine- dengan tegas menolak menyembah dewa-dewa. Keyakinannya tidak goyah bahwa berhala yang menjadi sembahan kaum musyrikin tidak membawa manfaat dan mudarat apa pun pada manusia. Sebab, bukanlah benda-benda itu yang menciptakan dan alam semesta. Hanya Allah SWT satu-satunya Sang Pencipta dan Zat yang berhak disembah.
     Dialog antara pemimpin yang kafir itu dan keenam pemuda yang beriman itu diabadikan dalam Alquran, surah al-Kahfi ayat ke-24, yang artinya, “Dan Kami (Allah) meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, ‘Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian tidak mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.”
     Mendengar jawaban mereka, Daqyanus tidak putus akal. Dia berdalih memberikan waktu kepada mereka agar memikirkan ulang keputusannya. Dia menduga cara itu akan efektif melunakkan tekad mereka sehingga berpaling dari keyakinan tauhid (monoteisme) menuju penyembahan pada berhala (politeisme). Untuk berjaga-jaga, pemimpin Ephesus itu juga menyusun rencana sembunyi-sembunyi sehingga dapat menyergap menantunya dan para pengikutnya yang telah membangkang kepada Roma. Bila perlu, Maximilan dibunuh saja, tetapi dengan cara seolah-olah Daqyanus tidak terlihat.
     “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya “ (Alquran surah Al ‘Imran 54). Helen ternyata mengetahui skenario jahat yang akan akan dilaksanakan kepada suaminya itu dan orang-orang beriman yang mengikutinya. Putri Daqyamus itu lantas meminta Maximilian dan kawan-kawannya agar kabur melalui lorong bawah tanah yang memang telah disiapkan sebagai jalan keluar sewaktu-waktu perang berkecamuk.
     Di ujung terowongan panjang itu, keenam pemuda ini sampai di sebuah pintu dekat gerbang Kota Ephesus. Saat itu, malam gelap gulita. Mereka pun sesungguhnya tidak tahu harus berbuat apa. Mereka kemudian berpapasan dengan seorang penggembala kambing yang juga beriman pada ajaran tauhid. Antonius-demikian namanya-sedang didampingi seekor anjing peliharaannya yang selalu mengikuti kemanapun tuannya pergi. Banyak riwayat menamakan anjing itu Qitmir.
         Dalam keadaan tidak menentu, ketujuhh pemuda itu saling bertukar pikiran. Tiba-tiba datanglah ilham dari Allah SWT. Alquran surat al-Kahfi ayat ke-16 mengabadikan momen tersebut:”Dan apabila kamu sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmatNya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.”
     Berangkatlah mereka ke arah Gunung Naikhayus untuk menemukan gua tempat berlindung. Sesampainya di sana, tujuh pemuda itu mengangkat tangan untuk berdo’a. Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tentang do’a tersebut,”(Ingatlah) tatkala para pemuda Kahfi itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdo’a,”Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”(Alquran surah al-Kahfi ayat ke-10).
     Ayat selanjutnya, al-Kahfi ayat ke -12, “Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).”
     Menurut M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat ke-12 tersebut bagaikan berkata,”[...] Kemudian, setelah tiba waktu yang Kami tetapkan. Kami bangunkan mereka dari tidur yang lelap itu agar Kami mengetahui dalam kenyataan setelah Kami mengetahuinya dalam ilmu Kami yang gaib, siapa yang tidak mengetahui sehingga bertanya manakah di antara kedua golongan itu yang tepat lagi teliti dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal dalam gua itu.”
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar