IDENTITAS
ASHABUL KAHFI
(Islam
Digest ,HU Republika, 16 Desember 2018,hlm15)
Oleh
: Hasanul Rizqa
Nuansa
kisahnya adalah pertentangan antara kebenaran dan kebatilan; antara keteguhan
bertauhid dan kezaliman penguasa yang musrik.
Alquran
mengandung kisah-kisah yang berhikmah besar. Di antaranya mengenai para
penghuni gua (Ashabul Kahfi), yang
dinarasikan dalam surat al Kahfi ayat 9-26. Walaupun firman Allah SWT itu tidak
mencantumkan siapa nama mereka, di mana lokasi, dan kapan peristiwa yang
dimaksud, kisah tersebut benar-benar pernah terjadi. Kalangan sejarawan yang
mengkajinya sering merujuk pada konteks sejarah penduduk Upsus (Ephesus).
Ephesus merupakan nama kota kuno di pesisir Turki Barat- sekitar tiga kilometer
Distrik Selcuk, Provinsi Izmir, Turki.
Daerah yang diduga menjadi tempat tinggal
mereka tidak hanya itu. Selain di sekitar Selcuk, ada pula Gua Eshab-i Kehf
Kulliye (Kompleks Usmaniyyah-Islam) di Distrik Afsin, Provinsi Kahramanmaras.
Pemerintah setempat pada 2015 lalu sudah mendaftarkan kompleks di Afsin
tersebut ke UNESCO untuk menjadi
kandidat Warisan Peradaban Dunia.
Ashabul Kahfi merujuk pada tujuh pemuda
dan seekor anjing yang –atas ijin Allah SWT- tidur di dalam gua selama ratusan
tahun, yakni 300 tahun syamsiah atau 309 tahun qamariah. Buku Ensiklopedi Islam mengungkapkan,
penamaan ashabul kahfi terdapat dalam
ayat ke 9 surat al Kahfi, sedangkan kata al-kahfi/kahfi
ditemukan pada ayat-ayat ke 10,11, 16, 17, dan 25 surah yang sama. Nuansa
kisahnya adalah pertentangan antara kebenaran dan kebatilan, antara keteguhan
bertauhid dan kezaliman penguasa yang musyrik.
Penguasa yang dimaksud adalah Gaius Messius
Quintus Decius. Dua menjadi kaisar Romawi pada 249-251. Sejak zaman Kaisar Nero
(54-58), orang-orang yang meyakini kebenaran risalah Nabi Isa AS kerap menjadi
sasaran kekerasan. Bahkan banyak yang dipaksa menjadi umpan singa di arena
gladiator, yang dibuat semata-mata untuk hiburan penguasa dan warga Roma. Pada
zaman Decius , persekusi atas kaum Nasrani mulai berlangsung terstruktur dan
sistematis.
Pada Januari 250, kaisar yang lahir di
Budalia (kini Serbia) itu menginstruksikan setiap warga agar menyembah berhala.
Peribadatan harus disaksikan aparat negara sehingga rakyat dibayang-bayangi
ketakutan. Siapa pun yang menentang aturan itu diperintahkannya untuk ditangkap
dan bila perlu dibunah. Bagaimanapun, tidak sedikit orang beriman yang
menolaknya. Meskipun intimidasi terus digencarkan Decius dan jajarannya, mereka
tidak gentar sedikit pun dan semakin solid melawan.
Di antara mereka terdapat para pemuda.
Buku Corpus Inscriptionum Arabicarum Palaestinae (Jilid Enam)
menyebutkan siapa saja nama-namanya. Dalam bahasa Latin, sebutan mereka sebelum
beriman adalah Achillides, Diomedes, Diogenes, Probatus, Stephanus, Sambatius,
dan Quiriacus. Setelah menjadi pengikut ajaran Nabi Isa As, mereka
berturut-turut berganti nama menjadi Maximianus, Malchus, Martiniaus,
Constantinus, Dionisius, Johannes dan Serapion. Sumber lain, Ensiklopedia Britannica , mengungkapkan
bahwa tradisi Kristen Barat menamakan mereka sebagai Maximian, Malchus,
Marcian, John, Denis, Serapion, dan Constantine. Adapun menurut tradisi Kristen
Ortodoks mereka terdiri atas Maximilian, Jamblichus, Martin, John,Dionysius,
Antonius, dan Constantine.
Selain Antonius, keenam orang tersebut
merupakan pejabat penting di lingkungan istana gubernur Daqyamus. Seperti
halnya sang kaisar, gubernur tersebut merupakan seorang penyembah dewa-dewa
Romawi. Tidak mengherankan bila menghias setiap sudut Kota Ephesus dengan
patung-patung yang menggambarkan ajaran politeisme.
Akan tetapi, keluarganya tidak seluruhnya
terjerumus kesehatan. Istrinya sendiri diam-diam beriman pada tauhid. Setelah
hal itu diketahuinya. Daqyamus pun membakar hidup-hidup pasangannya itu di depan
umum. Kejadian ini drsaksikan putrinya, Helen, yang akhirnya mengikuti jejak
ibundanya, menjadi orang beriman secara sembunyi-sembunyi.
Ketika dewasa , Helen dinikahkan dengan Maximilian yang
tidak lain anak seorang pejabat yang dekat secara politik dengan Kaisar Decius. Deqyamus berharap, pernikahan
putrinya itu akan memuluskan jabatannya di Ephesus. Setidak-tidaknya besannya
itu yang menjabat senat tidak mungkin menjelek-jelekkan namanya di hadapan kaisar.
Pasangan Maximilian dan dikaruniai anak bernama Iqmith.
Suatu hari, Maximilian ingin memesan
sebuah patung dewa untuk disembahnya di dalam rumah. Dia pun pergi kepada
seorang perupa yang paling terkenal di pasar. Awalnya tukang tersebut menolak
permintaan Maximilian dengan alasan dirinya sekarang hanya membuat pot-pot dari
tanah liat. Menantu Gubernur Daqyanus itu terus memaksanya sehingga dibuatlah
sebuah patung seperti yang didinginkan.
Beberapa hari kemudian, patung dewa yang
dinanti-nanti akhirnya tiba di rumah. Maximilian ternyata kecewa setelah
melihatnya. Dia menilai mutu pesanannya itu jauh dari yang diharapkannya
semula. Patung itu pun dibuangnya sehingga pecah berkeping-keping. Perupa yang
membuatnya bertanya kepadanya, “Bukankah itu dewa yang Tuan sembah? Apa Tuan tidak
dengan kutukan akibat perbuatan ini?”
“Patung itu hanyalah buatan tangannmu.
Tidak akan bisa memberikan kutukan atau kesengsaraan kepadaku.” Jawab
Maximilian.
“Lantas, mengapa Tuan menyembahnya? Jika
patung itu saja dibuat oleh tangan manusia, mengapa tidak menyembah Tuhan Yang
satu, yang telah menciptakan seluruh manusia, termasuk saya dan tuan sendiri!”
cecar perupa itu tanpa ragu.
Kata-kata itu membuat Maximilian terdiam.
Berhari-hari lamanya, dia memikirkan makna di balik ucapan itu. Sampai akhirnya
dia mengungkapkan kegundahan hatinya kepada istrinya. Helen berusaha
menenangkannya dengan mengatakan bahwa penyembahan pada berhala tidak sesuai
fitrah penciptaan manusia. Bagaimana mungkin manusia menyembah apa yang
dibenntuk oleh tangannya sendiri? Istrinya itu mengatakan kepadanya. Nabi Isa
AS telah mengajarkan kebenaran bahwa seharusnya manusia beriman kepada Allah,
Tuhan yang Satu.
Sejak saat itu Maximilian mulai belajar
Injil. Di rumahnya, dia kerap mengundang seorang alim Nasrani untuk mengajarkan
kepadanya ajaran Nabi Isa AS. Tentunya hal itu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi untuk menghindar dari kecurigaan mertuanya.
Sementara, penindasan atas orang-oranng
Nasrani semakin gencar. Suatu hari, seorang tokoh lokal yang beriman pada
tauhid dihubungkan dengan cara salib. Bahkan, jasadnya kemudian dibakar dan
ditampilkan di dekat pasar. Hal itu menjadi cara penguasa Romawi untuk
memperingatkan rakyat agar selalu takut dan tidak berpaling dari politeisme.
Melihat kejadian ini, Maximilian tergerak
untuk membantu keluarga syuhada tersebut. Pada malam hari, dia dan lima orang
pengawalnya diam-diam menurunkan jasad martir itu sehingga bisa diserahkan pada
ahli waris dan dikuburkan secara layak. Tindakan Maximilian menjadi peluang
bagi sejumlah pejabat di istana yang memang sejak semula menganggapnya hanya
orang asing dari Roma –bukan asal Ephesus.
Seorang pejabat kemudian meminta daqyamus
agar menghadirkan menantunya itu dan kawan-kawannya. Tujuannya untuk menguji
keberpihakan mereka, apakah masih pada agama politeistik Romawi ataukah ajaran
Nabi Isa AS. Di depan Daqyanus, Maximilian dan kelima pengawalnya – Jamblichus,
Martin, John, Dionysius, dan Constantine- dengan tegas menolak menyembah
dewa-dewa. Keyakinannya tidak goyah bahwa berhala yang menjadi sembahan kaum
musyrikin tidak membawa manfaat dan mudarat apa pun pada manusia. Sebab,
bukanlah benda-benda itu yang menciptakan dan alam semesta. Hanya Allah SWT
satu-satunya Sang Pencipta dan Zat yang berhak disembah.
Dialog antara pemimpin yang kafir itu dan
keenam pemuda yang beriman itu diabadikan dalam Alquran, surah al-Kahfi ayat
ke-24, yang artinya, “Dan Kami (Allah) meneguhkan hati mereka di waktu mereka
berdiri, lalu mereka pun berkata, ‘Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan
bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau
demikian tidak mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.”
Mendengar jawaban mereka, Daqyanus tidak
putus akal. Dia berdalih memberikan waktu kepada mereka agar memikirkan ulang
keputusannya. Dia menduga cara itu akan efektif melunakkan tekad mereka
sehingga berpaling dari keyakinan tauhid (monoteisme) menuju penyembahan pada
berhala (politeisme). Untuk berjaga-jaga, pemimpin Ephesus itu juga menyusun
rencana sembunyi-sembunyi sehingga dapat menyergap menantunya dan para
pengikutnya yang telah membangkang kepada Roma. Bila perlu, Maximilan dibunuh
saja, tetapi dengan cara seolah-olah Daqyanus tidak terlihat.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya
dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu
daya “ (Alquran surah Al ‘Imran 54). Helen ternyata mengetahui skenario jahat
yang akan akan dilaksanakan kepada suaminya itu dan orang-orang beriman yang
mengikutinya. Putri Daqyamus itu lantas meminta Maximilian dan kawan-kawannya
agar kabur melalui lorong bawah tanah yang memang telah disiapkan sebagai jalan
keluar sewaktu-waktu perang berkecamuk.
Di ujung terowongan panjang itu, keenam
pemuda ini sampai di sebuah pintu dekat gerbang Kota Ephesus. Saat itu, malam
gelap gulita. Mereka pun sesungguhnya tidak tahu harus berbuat apa. Mereka
kemudian berpapasan dengan seorang penggembala kambing yang juga beriman pada
ajaran tauhid. Antonius-demikian namanya-sedang didampingi seekor anjing
peliharaannya yang selalu mengikuti kemanapun tuannya pergi. Banyak riwayat
menamakan anjing itu Qitmir.
Dalam keadaan tidak menentu, ketujuhh pemuda
itu saling bertukar pikiran. Tiba-tiba datanglah ilham dari Allah SWT. Alquran
surat al-Kahfi ayat ke-16 mengabadikan momen tersebut:”Dan apabila kamu sembah
selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu
akan melimpahkan sebagian rahmatNya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang
berguna bagimu dalam urusan kamu.”
Berangkatlah mereka ke arah Gunung
Naikhayus untuk menemukan gua tempat berlindung. Sesampainya di sana, tujuh
pemuda itu mengangkat tangan untuk berdo’a. Allah SWT mengajarkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan umat Islam tentang do’a tersebut,”(Ingatlah) tatkala para
pemuda Kahfi itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka
berdo’a,”Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”(Alquran
surah al-Kahfi ayat ke-10).
Ayat selanjutnya, al-Kahfi ayat ke -12,
“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua
golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal
(dalam gua itu).”
Menurut M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat ke-12 tersebut
bagaikan berkata,”[...] Kemudian, setelah tiba waktu yang Kami tetapkan. Kami
bangunkan mereka dari tidur yang lelap itu agar Kami mengetahui dalam kenyataan
setelah Kami mengetahuinya dalam ilmu Kami yang gaib, siapa yang tidak
mengetahui sehingga bertanya manakah di antara kedua golongan itu yang tepat
lagi teliti dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal dalam gua itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar