Rabu, 23 Oktober 2019

MAISUNI KHOIRUNISA

Prich Purwanti
(Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita... . QS An Nisa ayat 23)
Novel


MEMELIHARA AYAM
Pada suatu hari saya memelihara ayam. Ayam yang saya pelihara dari jenis ayam lehorn. Setiap pagi sesudah sembahyang subuh, saya memberi ayam-ayam saya makanan. Makanan yang saya berikan terdiri dari dedak, kangkung dan air. Kadang-kadang juga ditambah fur dan vitamin ayam. Saya membeli bibit ayam di pasar dekat rumah. Supaya saya mendapat untung, maka saya pelihara sebaik-baiknya. Ketika saya menanyakan pada bapak : “Pak, apa aku boleh membuat kandang ayam di belakang rumah?”, bapak menjawab:”boleh, asal kamu rajin memelihara kebersihan kandang dan ayam-ayam kamu.” Ternyata, setelah beberapa lama saya pelihara ayam, saya memperoleh hasil yang banyak sekali. Lumayan aku bisa membeli interkom, yaitu alat komunikasi intern, antar RT/RW yang amat canggih. Kemudian aku beli bibit ayam lagi, aku pelihara baik-baik supaya bisa memperoleh untung lagi syukur yang lebih besar, supaya aku bisa membeli sepeda baru yang lebih kuat untuk memboncengkan adikku yang gendut, tidak mudah gembos bannya.
        Ternyata ayam-ayam saya cepat sekali berkembang biak, dari dua pasang, setelah dua bulan menjadi tujuh ekor ayam. Aku senang sekali, hidupku seperti penuh dengan nuansa yang indah sekali. Akan tetap pada suatu hari hujan turun sangat deras. Ayam-ayamku memang berada di dalam kandang yang terhindar dari hujan deras, namun karena rumahku dekat sungai, maka sungai DAK yang meluap menghancurkan seluruh kebahagiaan hidup saya. Rumahku kebanjiran aku bilang pada bapak:”Pak, ayam-ayamku bagaimana, Pak? Kita sedang mengurus rumah, apa ayamnya boleh masuk ke rumah?”. Bapak berkata kepada saya:” Coba dilihat, kalau masih bisa diselamatkan ya rezeki namanya, kalau sudah mati namanya bukan rezeki.” Aku dengan sepenuh tenaga menuju ke belakang rumah, melihat i ayam di kandang apa masi hidup apa sudah mati. Ternyata sudah roboh kandangnya diterjang banjir, bukannya mati malah sudah hilang ditlan air bah. Betapa sedih hati ini rasanya, telah hilang harapanku membelikan sepeda baru untuk ke sekolah bersama adikku tersayang, yang gendut dan lucu.
      Ayah ternyata tidak pernah membiarkan aku sedih. Setelah banjir reda beberapa waktu lamanya, ayah membelikan ayam lagi untuk kami pelihara. Ayah selalu merawat ayam-ayam kami. Karena ayam kami jenis ayam kampung, maka ayah meliarkan ayam. Ayam kami sangat jinak. Kalau pagi diberi makan oleh ayah dengan jampi-jampi. Kemudian ayam diliarkan begitu saja. Sore hari ketika hari mulai gelap, ayah memanggil ayam-ayam hanya dengan tiga kali tepukan. Setiap hari ayam aku hitung pas terus jumlahnya. Pergi ke pekarangan 12, sore pulang dari pekarang juga 12 ekor.
     Suatu hari ayah pergi ke luar kota. Aku hanya bertiga dengan ibu dan adikku. Ibuku merasa ada yang membuka kandang ayam di belakang rumah. Tetapi karena malam hari, ibu tidak berani menengok kandang ayam yang rasanya terbuka sendiri pintunya. Setelah pagi hari tiba, ibu memeriksa kandang ayam. Kemudian ibu masuk ke rumah bertanya kepadaku:” Apakah tadi ayam sudah kamu beri makan dan sudah kamu biarkan mengais di pekarangan, Arman?”
 Saya menjawab sekenanya kepada ibu: “ Tidak , Bu...” Ibu meneruskan pekerjaan di dapur. Tak lama kemudian bapak datang agak tergopoh-gopoh, dengan membawa buah tangan yang sarat. Setelah sampai di ruang tengah, bapak memanggil ibu yang sedang mempersiapkan makanan di dapur. “ Bu, ke sini Bu, Bapak sudah pulang ini... “ kata ayahku kepada ibu, dengan suara yang agak keras. Karena ibu tidak mendengar suara ayahku, maka aku memanggil ibu ke dapur. “Bu, bapak sudah pulang, ibu diminta ke dalam, Bu...” “O,iya, sebentar, ini gantikan ibu menanak nasi, api tidak boleh ditinggal begitu saja.” Aku menjawab:” Baik, Bu...”
     Tak berapa lama aku sudah menanak nasi di dapur, kemudian mengikuti ibu menemui ayah ke dalam. Setelah berkumpul di ruang keluarga, ibu membawa buah tangan ayah ke meja makan, ada tahu baxo dari Temanggung, ada bakpia patuk makanan khas Yogya. Rupa-rupanya ayah baru mengikuti kursus memelihara ayam di Semarang. Kemudian aku, ibu dan ayah berkumpul kembali di ruang keluarga. “Bagaimana, Pak?” kata ibu kepada ayah. “ Ini tadi, Bapak, pulang naik becak dari jalan raya ke rummah. Di tengah jalan, dicegat oleh Pak Lurah. Bapak mendapat kabar kalau Pak Lurah baru saja menangkap pencuri yang mencuri ayam kita. Pencurinya sudah ditanya, dikemanakan hasil curiannya. Ternyata di jual, 12 ekor ayam laku Rp 80.000,00. Mengapa kamu tidak tahu kalau ayam-ayam kita hilang, Bu? Kan, bisa sms Bapak, di Semarang...?  Kalau sudah begini ya sudah, ayam sudah hilang, kita juga baru tahu.” Ternyata bapak pulang, membawa kabar dari Pak Lurah kalau ayam saya dicuri orang. Baru tadi pagi ibu bertanya kepadaku, ternyata ayah pulang, sudah tahu ayam hilang dicuri orang jahat.
       Beberapa hari sepulang ayah dari Semarang, kami memiliki peternakan ayam yang letaknya agak jauh dari rumah. Letak peternakan ayam bersama ayah dan teman-temannya berjarak, 25 m dari rumah kami. Kandang ayam dibuat dari bambu yang kuat. Konstruksi kandang ayam, dibuat panggung, jadi ayam aman dari binatang buas yang datang sewaktu-waktu. Beberapa bulan setelah kandang ayam berdiri, ayam yang sebelumnya berjumlah 100 ekor, menjadi 250 ekor. Penjualan ayam, dilakukan melalui pelayanan pemesanan. Para pemesan ayam ayah, berasal dari pasar, pedagang makanan atau restoran dan pedagang ayam goreng. Ayah mengalami peningkatan penghasilan. Saya juga memiliki pengalaman yang lebih banyak tentang memelihara ayam.
     Akan tetapi, karena desa saya terletak di lereng gununng, maka peternakan ayam ayah juga mengalami pailit. Pailit bukan karena dicuri atau kena banjir, akan tetapi terkena angin ribut, yang hebat shingga peternakan ayam ayah hancur. Ayah menanggung kerugian yang cukup besar. Dan ayah harus melunaskan hutang yang ayah gunakan untuk membuka peternakan ayamnya bersama rekan kerjanya yaitu paman saya.
     Setelah ayahku mengalami pailit yang cukup lama, ayah memperoleh pinjaman bank untuk usaha peternakan ayam baru. Ayah tidak jera karena pailit. Akan tetapi ayah merasa bersyukur karena masih diberikan ilmu tentang memelihara ayam. Akan tetapi, peternakan ayam ayah yang sekarang tidak terlalu jauh dari rumah. Dan juga membuka warung makan yang menyediakan masakan ayam goreng khas masakan ibuku sendiri.
     Setiap hari yang membeli makanan di warung makan ibu tambah banyak. Karena warung makan ibu memang berada di sekitar daerah rekreasi di lereng gunung. Hawa yang sejuk, menyebabkan pelancong yang kelaparan haru ssegera diberikan obat penangkal rasa lapar. Ibu menyediakan ayam goreng dan sambal terasi dengan lalapan kol dan ketimun. Kalau pengunjung tempat rekreasi di lereng gunung padang bertambah banyak, maka omset ayam ayah bisa masuk semua ke warung makan ibu saya. Padahal setiap hari ayah dan ibu bekerja keras, dan masih memerlukan bantuan beberapa orang untuk bagian warung makan dan pemeliharaan ayam. Setelah ayah pulang dari rumah kerja ayah di kota, ayah pasti menyempatkan mengunjungi peternakan ayam.
     Peternakan ayam ayah dibangun di areal yang cukup luas. Di daerah peternakan yang berada di desa yang agak jauh dari kota. Setiap hari ayah pergi bekerja ke kota. Pullang kerja malam hari, kemudian pagi kerja lagi. Uang hasil kerja ayah di kota dibelikan bermacam-macam keperluan untuk peternakan ayam kami sekeluarga. Uang hasil ibu di warung, digunakan untuk membiayai sekolah saya dan adik saya. Kemudian uang hasil penjualan ayam potong ayah ada yang ditabung dan ada yang digunakan untuk memberikan honor kepada karyawan peternakan ayam kami.
     Tahun ini, ayah dan ibu saya akan berangkat menunaikan ibadah haji ke Makkah Al Mukaromah. Saya dan adik tidak boleh ikut. Saya harus menggantikan ayah dan ibu bekerja sebisanya di rumah. Sebab banyak pekerja yang tidak boleh di PHK, dan saya masih mengikuti pelajaran di sekolah. Karena masih ada paman di rumah, saya dan adik tidak merasa takut menghadapi pekerjaan, ayah dan ibu sehari-hari. Hanya saja kerja ayah di kota harus berhenti untuk menunaikan ibadah haji. Ayah hanya bekerja di sebuah toko ayam yang terkenal yaitu Hisana. Toko itu menjual ayam matang dan juga rumah makan khusus ayam goreng. Ayam goreng ibu sebetulnya lebih lezat dari ayam Hisana, akan tetapi, warung makan ibu jauh di desa, jadi pemasarannya terbatas di desa saja. Sedangkan Hisana membuka agen di setiap tempat di sudut kota.
Pada suatu hari, ayah dan ibu pergi ke kota untuk melaksanakan latihan manasik haji. Ayah tiba-tiba dipanggil oleh amirul haj, yaitu Pak Toni, seorang guru SD dari desa kami. Pak Toni menyampaikan pesan dari teman-teman latihan mansik haji ayah untuk membuatkan 100 dus makanan berat, yaitu nasi ayam khas buatan ibu. Pesanan tersebut supaya diantar ke kelompok latihan mansik haji. Karena setiap bulan sampai bulan berangkat, ayah berlatih 2 sampai tiga kali, maka ayah harus menyediakan nasi dus untuk 100 orang selama 2 sampai 3 kali satu bulan. Karena di warung makan ibu juga ramai pembeli, maka ketika hari latihan datang persiapan memasak menjadi lebih awal. Alangkah repotnya ibu dan ayahku, akan tetapi tetap mengerjakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Selain itu bapak dan ibu selalu mengajak aku dan adik sholat berjamaah di mushola rumah, terutama waktu sholat maghrib dan sholat isa. Kata ibu: “Arman dan Badu, kamu harus rajin sholat, dan rajin mengaji, walaupun bapak dan ibu pergi haji lusa.” Aku menjawab:”Ya,Bu... Nanti aku akan pimpin adik Badu sholat berjamaah.” Ibu rupanya sangat mengharapkan jawabanku serupa ini. Kemudian aku menghampiri tangan ibu dan menjabat serta mencium tangan ibu sepenuh hati. Begitu juga ayahku. Badu adikku mengikuti gerak-gerikku. Kemudian kami melanjutkan dengan aktivitas masing-masing.
    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar